OE MARTIN adalah seorang Polisi Amerika yang juga memiliki sasana tinju, kepadanyalah mula-mula Marcellius Cassius Clay melapor kehilangan sepeda dan ingin berlatih tinju untuk meghajar para penjahat. Joe dan putranya adalah saksi utama pada Acara 70 tahun Muhammad Ali yang dilaksanakan Pemerintah Amerika untuknya, di mana Joe mengatakan: Muhammad Ali tidak pernah bergeser sedikitpun dari niat awalnya. Dia bertinju tidak untuk ketenaran dan uang, ia hanya menjadikan tinju sarana untuk membela yang lemah.

Dalam perjalan hidup selanjutnya Muhammad Ali memberikan hadiah kepada Bangsa Indonesia yang ratusan tahun dijajah belanda, sebuah pertarungan berjuluk “Race, Recreation, and Culture“. Ali memilih lawan seorang Raja K.O. muda belia bernama Rudy Lubbers. Muhammad Ali ingin mengalahkan Rudy Lubbers di Indonesia. Dan dia memang berhasil melakukannya. 25,000 penonton Senayan saat itu (saya mendengar melalui radio) bersorak sorai dan menyambut kemenangan Muhammad Ali atas Rudy Lubbers seperti kegembiraan menyambut kemerdekaan dari Belanda.

Keesokan harinya masyarakat Jakarta yang larut dalam kegembiraan, mengajak Muhammad Ali keliling Jakarta, saat itulah Ali memberikan satu kenangan manis dengan ungkapan: “Indonesia, sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun.”

Berikutnya tanggal 30 Juni 1975 Muhammad Ali memberikan hadiah besar bagi bangsa Malaysia yang pernah dijajah Inggris. Mula-mula raja baru kelas berat digenggam oleh seorang raksasa warga negara Inggris bernama Joe Bugner, dua puluh lawannya beruntun di K.O, namun dia tidak puas sebelum mengalahkan Muhammad Ali. Ali menerima tantangan Bugner dan hanya mau kalau pertandingannya dilaksanakan di Malaysia. Ali rupanya yakin dapat mengalahkan Bugner dan itu ingin dilakukannya di Malaysia.

Tak satupun orang mengunggulkan Muhammad Ali mengingat reputasi Bugner (64 kali menang KO) sebelumnya juga membunuh lawannya. 35,000 penonton Stadium Negara Kuala Lumpur ( RRI juga menyiarkan) seluruhnya memberikan dukungan. Seperti masyarakat Indonesia, kemenangan Ali terhadap Bugner seakan pengusiran ke dua kalinya penjajah Inggris dari Malaysia.

Bugner yang tidak percaya dirinya dikalahkan malah berkilah, udara yang terlalu panas dan seluruh penonton mencemooh saya, itulah penyebab kekalahan saya. Rupanya Ali mendengar berita itu dan memberikan kesempatan kepada Bugner untuk tanding ulang dan Joe Bugner kalah lagi sehingga dalam sebuah wawancara, ketika bugner ditanya pendapatnya tentang Muhammad Ali dengan jujur dia berkata: “Smartest: Muhammad Ali. Intelligence wise, in the ring and out, he was incredible” (Muhammad Ali adalah Lawan paling baik, paling cerdas, bijaksana. Di dalam maupun di luar ring dia sungguh luar biasa).

Konsistensi Muhammad Ali terus berlanjut, dia ingin membuka mata dunia terhadap penderitaan Bangsa Afrika, maka pertandingan yang paling ditunggu masyarakat dunia saat itu adalah Muhammad Ali VS Joe Foreman yang berjuluk Si Badak. Foreman baru saja menghabisi Ken Norton juara dunia yang memecahkan kepala kerbau dengan kepalan tangannya. Bahkan Ali sendiri dikalahkan oleh ken Norton. Ali setuju melawan Si Badak ini asalkan tempat pertandingannya di Kinsasa, Zaire. Pertandingan itu dijuluki “the Rumble in the Jungle” (Gemuruh di dalam belantara) resmi diumumkan pada hari Rabu, 30 Oktober 1974.

Muhammad Ali tahu dirinya tidak diunggulknan, menurut penuturan dalam bukunya, Muhammad Ali The Greatest, dia berangkat dahulu ke Zaire seminggu sebelumhya, dia keluar masuk perkampungan menunjukkan klasih sayangnya kepada masyarakat kulit hitam yang dilecehkan dunia saat itu. Setiap hari mulai dari ratusan, lalu ribuan sampai puluhan ribu orang jatuh cinta padanya dan mengikuti latihan-latihannya di jalanan Kinsasa. Ketika naik ring, Ali juga naik setengah jam terlebih dahulu berpidato di atas ring membakar semangat penonton bahwa mereka harus bangkit dan Muhammad Ali akan mewakili semangat kebangkitan mereka … Gemuruh teriakan menggema di Stadion itu : Ali Boomay… Ali Boomaye…  Ali Boomaye. ….. Ali sepenuhnya telah menguasai ring ketika Foreman datang menyusul.

Kembali menurut cerita Ali di dalam bukunya itu, Sesungguhnya Joe Foreman adalah manusia dengan pukulan paling keras. Bagian manapun yang terkena pukulannya tetap terasa sangat menyakitkan. Tangan, kepala, dada, perut serasa mau meledak jika tertimpa pukulan Foreman. Satu kata di dalam fikiran saya, Saya harus menang demi bangsa yang penuh penderitaan ini. Ronde ke Tujuh, saya melihat Foreman mulai putus asa. Dia yang terbiasa meng-KO lawan pada ronde dibawah 5 sudah kehilangan percaya diri. Padahal saat itu seluruh tubuh saya sudah ngilu dan renyuh oleh pukulannya. Pukulan Foreman mulai melemah, saya berikan dia kesempatan untuk memukul sesukanya sampai di ronde ke 8 dia terlalu asyik dan dia lengah, … saat itulah … buuuuuum, buuuum dan satu lagi buuuum Foreman tersungkur dan tidak dapat bangun lagi. Aku telah memenangkan orang-orang tertindas itu. Begitulah cerita Ali sendiri.

Setelah itu tidak ada manusia yang pantas disandingkan untuk melawan Muhammad Ali, sampai raksasa yang paling ditakuti Muhammad Ali sendiri bangkit kembali. Diala Joe Frazier. Frazier terlebih dahulu melumat semua lawan-lawannya untuk membuat Don King dan Muhammad Ali sendiri tidak punya pilihan Mandatory fight kecuali harus berhadapan dengan Joe Frazier. Frazier, menurut Ali tidak dapat dikalahkan hanya dengan tenaga dan kecerdikan. Mengutip salah seorang jurnalis olahraga David Halberstam, pada hari Ulang Tahun Muhammad Ali yang ke 70, dia mengatakan: “Tanpa tiga pertarungannya dengan Joe Frazier, seorang Muhammad Ali bukanlah Ali. Karena bisa mengalahkan lawan seperti Frazier lah, Ali dikenal sebagai yang terkuat dan terhebat”.

Ali punya cara yang konsisten untuk menang melawan manusia-manusia terkuat. Ali yang telah bersahabat dengan Muammar Khaddafi meminta Don King untuk menghelat pertandingan itu di Manila, Pilipina dan seperti biasa, pilihan harinya adalah  Hari RABU, 1 Oktober 1975.

Ali ingin dirinya mewakili penderitaan psikologis Bangsa Pilipina yang lama dijajah Spanyol. Seperti biasanya Ali mendahului datang ke Manila dan berkeliling gubuk-gubuk kumuh dan tidak lupa sholat di masjid yang dibangun oleh Muammar Khaddafi di Manila.

Di sinilah Muhammad Ali menemukan puncak kemanusiaannya. Dalam pertarungan berjuluk Thrilla in Manila (Sensasi di Manila). “14 ronde kami saling memukul dengan segala kekuatan dan kemampuan serta ketahanan yang kami miliki. Saya tidak menang, kata Muhammad Ali sebab Pelatih Joe Frazier-lah mengalah pada ronde ke 14 itu. Seandainya pelatihnya memberi dia kesempatan untuk berdiri lagi di awal ronde 15 maka saya sendiri sudah tidak mampu melakukannya. Tepatnya, pelatih Frazier memberikan kemenangan itu pada saya. Tetapi Frazier juga tidak kalah sebab dia dengan jantan mengakui bahwa kalau Ali menang itu bukan untuknya melainkan untuk masyarakat Pilipina. Mungkin saat kritis menjelang ronde ke 15 itu kami berdialog dengan hati dalam memutuskan hasil akhir pertarungan itu.

Tahun 2012, saya sempat ke Manila dan entah mengapa sempat bertanya tentang Islam, yang mereka sebut justru Muhammad Ali dan menurut mereka Muhammad Ali itu  adalah orang Pilipina.

Saya kembali menemukan cacatan Aneh saya, Hari RABU tanggal 19 Desember 1979, Muhammad Ali memutuskan masuk ke China, Negara Tirai Bambu yang paling tertutup di bawah kekuasaan Deng Xiao Ping. Ali langsung ke Beijing dan sholat berjamaah dengan ribuan muslim China yang berpuluh tahun mengalami tekanan Pemerintah, sampai sholat dan puasapun mereka mendapat hambatan. Setelah shalat, Ali naik ke Tembok China dan mengirim pesan kepada Deng Xiao Ping yang akhirnya membuat penguasa absolut itu melunak dan mengundang secara resmi Muhammad Ali untuk bertandang ke China. Sejak saat itulah China mulai membuka diri, sehingga Jimmy Carter mengangkat Muhammad Ali sebagai pelobby utama untuk membuka China. Ali melakukannya dengan baik dengan memulainya dari kampung-kampung kumuh penuh derita di China bagian tengah. Karena itulah Ali sesumbar: “Naikkan aku ke parasut, jatuhkan aku dibagian mana saja di Negeri China, pastilah mereka akan mengenalku”.

Yang paling aneh dalam karir Muhammad Ali adalah keputusan untuk menantang seorang Juara Gulat Bebas Jepang Antonio Inoki. Inoki telah menjadi dewa bagi masyarakat Jepang dan tentu Ali juga tahu betapa masyarakat Jepang merasa terhina oleh peristiwa dijatuhkannya Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika.

Pertarungan itu berhasil draw namun setelah pertarungan itu Muhammad Ali dan Inoki bersahabat dan saling mengunjungi Amerika-Jepang seakan kedua perwakilan masyarakat itu menghimbau kedua bangsa untuk saling bersahabat.

Memang Almarhum Muhammad Ali [yang lusa, Jum’at 10 Juni 2016] akan dimakamkan adalah petinju, namun tinju hanya merek dan cassing, jauh di dalam lubuk hatinya ada cinta yang bersinar terang dan sinar terang itulah konsisten mengarahkan perjalanan hidupnya.

Selamat jalan Muhammad Ali, pada waktunya kami-pun juga akan menyusulmu.*

Pimpinan Pondok pesantren Nurul Haramain Lombok Barat

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar